Mendidik Anak Bulan Ramadhan


🌍 BimbinganIslam.com
Ahad, 11 Ramadhan 1436 H/28 Juni 2015 M
🌙 Materi Tematik Ramadhān
〰〰〰〰〰〰〰〰〰
~ MENDIDIK ANAK DI BULAN RAMADHĀN (SOAL JAWAB BAG 2) ~

Soal
Didalam hadits disebutkan bahwa jika anak 10 tahun tidak mau shalat maka boleh dipukul, lalu apakah puasa juga boleh dipukul jika tidak mau puasa?

Jawab
Untuk shalat ada nash khusus bahwasanya kalau 10 tahun tidak mau shalat dipukul, adapun puasa tidak ada nash untuk hal ini.

Akan tetapi seseorang melatih anaknya untuk puasa tetapi tidak sekeras seperti shalat karena ibadah puasa kedudukannya lebih ringan daripada ibadah shalat, boleh dengan pukulan ringan, dan dilakukan sudah menjelang dewasa, namun tidak ada perintah khusus mengenai hal ini, berbeda dengan shalat.

Kalau sudah 10 tahun tidak mau shalat dan kita tidak memukul justru kita yang berdosa karena perintah tersebut tertuju untuk orangtua.

Adapun puasa, tidak ada perintah khusus dan itu hanya taktik dalam melatih anak-anak untuk puasa, kalau dalam pandangan kita dengan dipukul (pukulan yang ada manfaatnya dan dalam rangka untuk mendidik) maka silakan dilakukan. Tapi kalau sekiranya tidak ada manfaatnya maka tidak perlu dipukul.

Berbeda dengan shalat yang harus ada pemukulan, tentunya bukan pemukulan yang mematahkan tulang atau merubah wajah atau membengkakkan seluruh tubuh, akan tetapi pukulan untuk mendidik untuk menunjukkan bahwa masalah shalat adalah masalah yang penting.

Allāhu a'lam bishshawāb.
_______________

Soal
Bagaimana seorang bapak yang sudah 3 kali punya istri dan belum punya anak? Kemudian ada seorang pemuda yang sampai meninggal belum punya anak, bagaimana mendapatkan do'a dari anak yang shālih? Atau adalagi seorang bapak yang meninggalkan anak istrinya untuk merantau selama sekian tahun dan dia menikah lagi, kemudian dia meninggal apakah dia masih berhak mendapat do'a anak-anaknya?

Jawab
Seorang yang sudah berusaha memiliki anak tetapi tidak berhasil, jelas tidak ada anak yang akan mendo'akan dia maka hendaklah dia berusaha menjadi orang yang shālih. Hal ini menimpa sebagian Syaikh, ada yang memiliki 3 istri tapi tidak memiliki anak, terkadang Syaikh tersebut ketika bercerita tentang birrul walidayn (berbakti kepada kedua orangtua) dia bersediah karena dia tidak memilliki seorang anak yang akan berbakti kepada dia, tapi dia menjalani kehidupan tersebut.

Seseorang tatkala berusaha ingin punya anak tetapi tidak dianugerahi oleh Allāh maka seharusnya dia yakin bahwa dibalik semua itu ada hikmah yang Allāh kehendaki. Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyatakan:

وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا

"Allāh jadikan siapa yang Dia kehendaki mandul." (Asy-Syūra 50)

Dan kita tetap berhusnuzhan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita ingat kisah Nabi Khidr dengan Nabi Mūsa ketika bertemu dengan seorang anak maka Nabi Khidr membunuh anak tersebut, lalu Nabi Mūsa mengingkari perbuatan Nabi Khidr, dengan bertanya: "Apakah engkau membunuh seorang anak yang suci, yang tidak memiliki dosa-dosa?" Ini perbuatan yang munkar. Akan tetapi setelah Nabi Khidr diberitahu oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla tentang masa depan, maka Nabi Khidr menjelaskan tentang sebab kenapa membunuh anak tersebut, ternyata anak itu kalau besar akan menjadi anak yang durhaka yang mengantarakan kedua orangtuanya melakukan kezhaliman, maka jelaslah bagi Nabi Mūsa tentang hal tersebut.

Demikian juga dengan perkara yang lain, misalkan seseorang tidak memiliki anak. Kita tidak tahu, seandainya kalau kita memiliki seorang anak bisa jadi anak tersebut menjadi anak durhaka. Kita husnuzhan kepada Allāh, kita tidak diberi keturunan oleh Allāh pasti ada hikmahnya dan didalam keputusan Allāh pasti ada kebaikan dan yang terbaik. Allāh lebih mengetahui kemashlahatan seorang hamba daripada hamba itu sendiri.

Adapun pemuda dan pemudi yang meninggal dalam keadaan tidak punya anak pun demikian nasibnya, sama, tidak ada anak yang mendo'akan dia tetapi dia berusaha menjadi orang yang shālih. Jika dia berusaha menjadi orang yang shālih maka keshālihannya akan bermanfaat meskipu tidak ada anak shālih yang mendo'akan dia.

Kita tahu bahwa sebagian ulama meninggal tidak memiliki anak seperti Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh tidak menikah dan tidak memiliki anak. Akan tetapi keshālihan beliau akan bermanfaat bagi dirinya.

Tentang seseorang yang merantau meninggalkan anak istrinya lalu meninggal dunia, apakah anak yang tidak pernah dia urus tadi bermanfaat? Kita katakan, ya bermanfaat. Jika ternyata anak tersebut anak yang shālih, meskipun ayahnya bisa dibilang "kurang ajar" karena meninggalkan keluarganya, tidak bertanggung jawab, hanya menikah, menghamili kemudian ditinggal sementara ibu yang setengah mati mengurus sang anak. Akan tetapi dia menjadi anak yang shālih dan tahu kalau ayahnya "kurang ajar" dan diapun berdo'a "Yā Allāh, ampuni ayahku" dan do'a ini bermanfaat, inilah keutamaan memiliki seorang anak yang shālih. Ayahnya merupakan sebab adanya anak tersebut. Oleh karena itu seorang anak tidak boleh melupakan kebaikan seorang ayah meskipun ayahnya dalam keadaan musyrik.

وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ

"Jika orangtuamu memaksamu untuk melakukan kesyirikan... maka jangan engkau ikuti mereka akan tetapi pergaulilah mereka berdua dengan baik (di dunia)." (Luqmān 15)

Bagaimanapun kondisinya, ayah memiliki jasa kepada kita, jasa yang tidak bisa kita lupakan yaitu adanya kita di atas muka bumi ini. Orangtua yang musyrik dan mengajak kepada kesyirikan saja jasanya tidak boleh dilupakan apalagi yang muslim, mungkin orangtua kita melakukan dosa besar, tapi kita mendo'akannya maka do'a tersebut dapat bermanfaat bagi orangtua.

Allāhu a'lam bishshawāb
_______________

Soal
Bagaimana kita mentarbiyah anak yang masih dalam kandungan agar menjadi anak shālih, terkhusus dibulan Ramadhān ini, apakah berpengaruh ke janin yang ada dikandungan apabila kita berpuasa?

Jawab
Allāhu a'lam bishshawāb, janin yang ada dalam kandungan, saya tidak tahu cara mentarbiyahnya. Kalau masih janin tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali berdo'a kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Akan tetapi, kondisi orangtua yang menjadi shālih, kita puasa, kita shalat, inilah yang mempengaruhi do'a kita.

Tatkala kita berpuasa, kita shalat dan ibadah yang lainnya maka keshālihan ini yang akan mempengaruhi dikabulkannya do'a kita. Akan tetapi tidak boleh meyakini kalau dalam keadaan hamil tapi tidak dibawa puasa maka akan menjadi anak yang nakal, tidak ya. Allāh memberi keringanan (rukhshah) untuk seorang ibu yang menyulitkan dia maka dia boleh berbuka, jangan dia memberikan kemudharatan kepada sang anak. Dia nekat berpuasa sehingga anaknya kurang sehat kemudian sampai kemampuan intelektualnya kurang sehingga sulit diberitahu maka ini kesalahan kita.

Kalau seorang wanita hamil sulit melakukan ibadah puasa maka ada keringanan bagi dia untuk berbuka dan mengganti dengan hari-hari yang lainnya atau membayar fidyah.

Oleh karenanya, menjadikan anak agar shālih sejak kandungan adalah kita berdo'a kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla supaya menjadikan anak yang dalam kandungan menjadi anak yang shālih, yang berbakti kepada orangtua, yang menyejukkan pandangan dan menjadi buah hati kedua orangtua.

Adapun keyakinan jika ingin anak laki-laki yang cakap dengan membaca surat Yūsuf dan ingin anak perempuan yang cantik dengan membaca surat Maryam maka ini merupakan khurafat, ini tidak ada hubungannya. Surat-surat dalam Al-Qurān bukan demikian tujuannya.

Allāhu Ta'āla a'lam bishshawāb.

👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📺 Sumber: https://youtu.be/amOgLep4hOs
___________________________
🍃 Program Cinta Ramadhan~Yayasan Cinta Sedekah :
1. Tebar Paket Ifthar & Sahur Ramadhan
2. Program I'tikaf Ramadhan
3. Bingkisan Lebaran u/ Yatim & Dhu'afa
4. Tebar Al-Quran Nasional

📦 Donasi Cinta Ramadhan
| Bank Muamalat Cabang Cikeas
| No.Rek 3310004579
| atas nama Cinta Sedekah
| Kode Bank 147
| Konfirmasi donasi,
sms ke 0878 8145 8000
dengan format:
Nama#Domisili#Jumlah Transfer#Donasi Untuk Program
Previous
Next Post »
"Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).