Filosofi baju kotor

Rasanya sudah banyak orang bercerita tentang filosofi baju kotor. Ada yang dihubungkan dengan kejadian kita pas di akhirat, ketika di dunia, pokoknya banyak banget hikmah yang didapat ketika kita menghubungkan cerita baju kotor dengan kejadian-kejadian di dunia. Kali ini saya terinspirasi oleh cerita dosen Manajemen dan Keekonomian Proyek Migas, Mas Wid (Prof. Dr. Ir.Widjajono Partowidagdo, M.Sc., M.A.). Beliau menceritakan tentang rekan seangkatannya di Perminyakan, Mas Purnomo (Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro MSc., MA., Ph.D).

Mas Wid menceritakan bagaimana perjuangan seorang Purnomo Yusgiantoro yang saat ini menjabat sebagai Menteri ESDM ketika kuliah. Kalo saya kutip kata-kata Mas Wid, “Dia itu pas kuliah miskin sekali. Saya tahu betul bagaimana perjuangannya sampai dia menjadi menteri.“

Yang akan ditulis dalam tulisan saya bukanlah cerita perjuangannya, melainkan sebuah korelasi, keterkaitan antara sebuah perjuangan dengan cerita baju kotor. Sekarang kita asumsikan bahwa orang miskin itu baju sangat kotor. Orang menengah ke atas baju agak kotor (dengan kualitas yang sama dengan baju sangat kotor). Kita batasi juga bahwa asumsi tersebut hanya berlaku untuk hal-hal yang bersifat duniawi saja. Okey?!

Nah, ketika kita menginginkan baju yang sangat kotor tersebut bersih dan layak pakai, berarti kita harus membersihkannya dengan usaha yang ekstra. Dan juga cara pembersihan yang benar. Misalnya harus direndem beberapa jam dengan deterjen. Setelah itu, dibilas dan direndem lagi. Bisa beberapa kali direndem.

Tidak selesai sampai di sana. Baju yang sangat kotor tersebut harus disikat ekstra tenaga (meski sudah ada teknologi easy-kekuatan 10 tangan). Kemudian, untuk memastikan bahwa bajunya sudah bersih, harus direndem lagi biar memastikan semuanya sudah bersih. Di sikat lagi. Terus dijemur. Setelah itu, harus disetrika biar rapi. Meskipun bajunya kepanasan, tapi nantinya baju tersebut akan rapi dan enak dipandang. Serta akan berbeda dengan baju-baju lain yang tidak disetrika.

Intinya kawans, setiap kita menghadapi cobaan, tekanan, dan masalah dalam hidup, anggaplah bahwa itu adalah proses pencucian agar kita bisa hidup lebih layak. Jangan pernah menyerah dengan masalah-masalah yang menghadang. Anggap itu adalah sikat dan sabun, atau bahkan setrika yang terus berusaha membersihkan dan merapikan “baju kotor“ kita.

Kalo kata pepatah mah, “Pohon yang semakin tinggi akan menghadapi terpaan angin yang semakin kuat. Rumput hanya merasakan angin yang biasa-biasa saja, tapi mudah diinjak-injak.“ Mau pilih mana? The choice is yours.

*Note: Panggilan Mas atau Mbak kepada alumni, dosen, maupun mahasiswa merupakan tradisi di Jurusan Teknik Perminyakan ITB semenjak didirikan.
Previous
Next Post »

4 comments

Write comments
Mamah Ani
AUTHOR
December 6, 2008 at 9:43 PM delete

cara mencuci baju kotor ?
ya bergantung bahan bajunya juga dong.....hehehehehe

baju tipis direndem, disikat, dikucek kucek...ya rawek...compang camping jadinya.....

Reply
avatar
Tamrin
AUTHOR
December 7, 2008 at 4:26 PM delete

kan kualitasnya bagus... ^_^.

Reply
avatar
Anonymous
AUTHOR
December 7, 2008 at 8:12 PM delete

iya mas...
saya setuju dengan mbak ani
gimana bahannya masss
kalau bahannya tipis dan rapuh,digecek dan disetrika sobek masss....

jadi pengen jadi pakaian yg bersih rapih,kinclong, dan bahnnay kuat dan awet ajah aha....

salam
Mbak ayi

Reply
avatar
Tamrin
AUTHOR
December 8, 2008 at 7:41 PM delete

Hm... sejak kapan jadi Mbak-mbak? Hehehehe

Reply
avatar
"Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).