Keunggulan Free/Open Source sebagai Modal Kemandirian
Generasi Muda di Indonesia


Indonesia merupakan salah satu negara yang dikecam oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang IT. Tentunya kecaman ini dilatarbelakangi oleh maraknya pembajakan software yang merugikan penciptanya. Angin segar berhembus sejak diberlakukannya UU HAKI no. 19 tahun 2002. Setidaknya terdapat kecenderungan penurunan tingkat pembajakan di Indonesia, dari 89% di tahun 2002, menjadi 88% di tahun 2003 dan menurun menjadi 87% di tahun 2004. Dari data yang diperoleh dari kompas.com disebutkan bahwa di tahun 2007 tingkat pembajakan di Indonesia menurun menjadi 84%.

Penurunan tersebut berdasarkan survei Business Software Alliance (BSA) dan Incorporated Data Services (IDC) terhadap 108 negara di dunia sepanjang tahun 2007. Indonesia adalah salah satunya. Dari segi peringkat, Indonesia juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari posisi 8 pada 2006 ke posisi 12 pada 2007. Jadi bisa kita simpulkan bahwa Undang-Undang yang diberlakukan di Indonesia kurang efektif atau bahkan tidak efektif “memerangi” pembajakan software proprietary.

Mungkin persentase pembajakan software di Indonesia yang sebenarnya bisa lebih besar dari 84% ketika tahun 2007, mengingat sweeping yang dilakukan oleh Business Software Alliance (BSA) beserta aparat kepolisian hanya terbatas kepada institusi atau warnet-warnet tanpa memperhitungkan pembajakan software oleh perorangan.

Dua minggu yang lalu saya melakukan survei berupa wawancara langsung kepada beberapa rekan mahasiswa mengenai penggunaan software bajakan. Saya menanyakan kepada mereka, apakah mereka menggunakan software bajakan atau tidak. Tentu Anda bisa menebaknya sendiri. Jawaban dari mereka adalah ya! Kemudian saya tanyakan juga apakah mereka merasa bersalah ketika menggunakan software bajakan. Jawabannya adalah tidak!

Pada umumnya, pemakai software bajakan tidak merasa bersalah ketika menggunakan software bajakan karena mereka berpikir bahwa menggunakan software bajakan adalah rahasia umum. Padahal, total kerugian yang dialami industri software akibat pembajakan yang mencapai 84 persen tersebut adalah senilai US$ 411.000.000 atau senilai Rp3.740.100.000.000! Sekali lagi, kerugian industri software bisa lebih besar karena penggunaan software bajakan oleh individu tidak dihitung.

Sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan dan keanekaragaman suku serta seni, kita akan marah jika ada Negara yang mengklaim kebudayaan kita atau bahasa halusnya “mencuri”. Lalu kita mendemo karena kita merasa dirugikan oleh pencuri kebudayaan. Kita mengetahui bahwa kebudayaan merupakan kekayaan intelektual. Begitu pun dengan software yang merupakan hasil pemikiran pembuatnya. Jadi jangan salah jika kebudayaan kita dicuri orang karena kita juga mencuri kekayaan orang lain dalam bentuk software.

Mahal atau Boros ?

Karena terjadi razia besar-besaran terhadap penggunaan software bajakan, akhirnya banyak usaha seperti warnet yang merugi karena denda maupun institusi yang harus “jebol” karena migrasi ke software orisinil. Misalkan lembaga A memiliki 50 unit komputer dengan operating system (OS) Windows XP SP2, Antivirus, Microsoft Office, dan program pengolah gambar seperti Corel Draw X3. Jadi setiap komputer harus dibayar sebesar US$ 145.00 (OS XP) + US$ 161.00 (Symantec Anti Virus) + US$ 110.00 (Microsoft Office 2007) + US$ 367.00 (Corel Draw X3) = US$ 783.00/PC.

Jadi untuk 50 buah komputer dibutuhkan dana sebesar US$ 39,150.00! Harga tersebut saya dapatkan dari sebuah toko software online di Indonesia. Coba bandingkan jika kita membeli software bajakan yang harganya Rp 10.000/program. Dana yang dibutuhkan hanyalah Rp 40.000! Karena kita tahu bahwa software bajakan bisa dipakai untuk instalasi berulang-ulang. Berapa “penghematan” yang bisa dilakukan oleh lembaga A?

Setelah melihat harga software orisinal, tentunya kita akan prihatin dengan penggunaan software orisinil di kalangan pemerintah. Jika pemerintah mampu menggunakan software berbasis open source, maka dana hasil penghematan tersebut bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat. Sebagai informasi, Software & Information Industry Association mengestimasi bahwa pada tahun 2006 saja industry software proprietary dunia mendapatkan keuntungan sebesar 235 Milyar US$.

Jika kita bandingkan dengan penggunaan Free Open Source Software (FOSS) untuk semua komputer, maka biaya yang dikeluarkan tidak akan sebesar biaya software proprietary, bahkan nol rupiah! Kita sebagai generasi muda tentunya harus mampu berpikir cara terbaik mana yang akan kita pilih. Apakah ingin memilih yang murah dengan melanggar UU HAKI? Atau ingin memilih yang mahal? Atau memilih yang murah, bahkan gratis tanpa melanggar UU HAKI?

Kreatifitas Tanpa Batas

Ketika seseorang membeli software proprietary, maka orang tersebut tidak bisa membuka kode-kode pemrograman yang terdapat dalam software tersebut. Perlindungan kode ini bertujuan agar kode tidak diubah dan didistribusikan (diduplikasi). Karena hal inilah, akibatnya software proprietary “lebih terlambat” berkembang daripada FOSS.

Dalam dunia FOSS, kode-kode dapat diubah sesuai dengan kreatifitas pengembang. Fleksibilitas distribusi dan banyaknya pengembang dalam hal ini programmer membuat FOSS lebih unggul daripada software proprietary. Perbedaan mendasar lainnya yaitu dalam hal “perasaan”. Alasan lain FOSS lebih unggul daripada software proprietary adalah proses pembuatannya. FOSS dikembangkan oleh orang-orang yang lebih memiliki “sense” daripada orang yang “mencari uang” atau bekerja secara professional.

Sebuah survey yang dilakukan oleh The Boston Consulting Group pada tahun 2001 membuktikan bahwa motivasi terbesar orang mengembangkan FOSS adalah sebagai pembelajaran dan kesenangan (29%). Berikutnya adalah hobi (27%) diikuti dengan professional (25%) dan kepercayaan (19%). Kepercayaan disini maksudnya, mereka percaya bahwa semua kode pemrograman itu harus terbuka sehingga mudah dikembangkan.

Survei lainnya yang dilakukan juga oleh The Boston Consulting Group menunjukkan, bahwa 70,4 persen pengembang OSS berusia diantara 22-37 tahun. Pengembang OSS yang berusia kurang dari 22 tahun diketahui sebesar 14,3 persen. Sementara pengembang OSS yang berusia lebih dari 37 tahun sebesar 14,9 persen.

Sebagai generasi muda, tentunya FOSS menjadi sebuah kesempatan yang sangat bagus untuk mengasah kreatifitas dan inovasi di bidang IT. Oleh karena itu, sudah saatnya keunggulan FOSS dijadikan sebagai modal memandirian generasi muda di Indonesia.
Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments
Anonymous
AUTHOR
May 25, 2008 at 9:15 AM delete

postingan artikel ini sudah dibaca oleh saya. semoga sukses... :)

-dbu-
[www.donnybu.com]

Reply
avatar
"Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).