Istighfar setelah beribadah

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 21 Ramadhān 1436 H/08 Juli 2015 M
🌙 Materi Tematik Ramadhān
〰〰〰〰〰〰〰〰〰

~ PUASA TAMBALAN ~

Seorang yang beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla itu patut banyak-banyak beristighfar dan memohon ampun kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kenapa orang yang banyak beribadah malah harus banyak-banyak beristighfar?

Dikarenakan seorang yang betul-betul perhatian dengan ibadahnya maka dia ragu-ragu. Dia menyadari bahwa dalam ibadah yang dia laksanakan mungkin banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan.

Oleh karena itu, di akhir kegiatan ibadah, kita jumpai Allāh Subhānahu wa Ta'āla memerintahkan kita untuk berdzikir dan terutama adalah memohon ampun kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Setelah selesai shalat, begitu salam, kita dituntunkan untuk memohon ampun kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dan istighfar atau mohon ampun disini adalah bukan karena kita berdosa, shalat itu suatu hal yang dosa, tidak.

Namun, dikarenakan kita merasa bahwa shalat kita bukanlah shalat yang sempurna, punya banyak kekurangan. Oleh karena itu kita ingin menutup kekurangan tersebut dengan memohon ampun kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Maka begitu juga dengan orang yang berpuasa, orang yang berpuasa patut banyak beristighfar (memohon ampun) kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, karena dikhawatirkan jangan-jangan puasanya penuh dengan noda, kekurangan.

Maka dengan banyak-banyak beristighfar (memohon ampun) kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka Allāh akan tutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Sebagaimana perkataan menarik yang dikatakan oleh shahābat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu yaitu:

الغيبة تخرق الصيام، والاستغفار يرقعه، فمن استطاع منكم أن لا يأتي بصوم مُخرَّق فليفعل.(جامع العلوم والحكم 2/132)


"Ghībah (menggunjing) merobek puasa sedang istighfar menambal robekan puasa. Barangsiapa yang mampu datang dengan membawa puasa yang memiliki tambalan maka hendaklah dia melakukannya." (Jāmi'ul 'Ulūm wal Hikam 2/132)

Maka shahābat Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu dalam hal ini membuat gambaran, seandainya puasa adalah kain maka ketika kita melakukan maksiat saat kita berpuasa, semacam ghībah, maka kain itu akan robek.

Dan kain yang robek tentu perlu dijahit dan ditambal/diperbaiki. Maka upaya untuk merajut kembali, untuk menjahit robekan tersebut caranya adalah dengan memperbanyak istighfar (memohon ampun) kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla atas kelalaian dan kecerobohan yang ada pada diri kita saat berpuasa.

Oleh karena itu beliau katakan "Siapa yang bisa memiliki puasa yang puasanya bagaikan kain yang robek, namun telah dijahit kembali maka lakukanlah."

Maka tidak diragukan, yang paling ideal adalah orang itu memiliki kain yang utuh tanpa robek, tanpa dijahit kembali setelah robek. Akan tetapi itu suatu hal yang sulit. Mendapatkan hal tersebut dalam puasa kita suatu hal yang sulit.

Maka, kondisi dibawah ideal adalah kita memiliki puasa bagaikan kain yang robek namun telah kita jahit kembali. Bekas robeknya masih ada, namun kain tersebut adalah kain yang utuh.

Tentu kondisi yang mengkhawatirkan dan menyedihkan manakala puasa kita bagaikan kain namun belum ditambal dan belum dijahit ulang.

Oleh karena itu beliau sampaikan, kalau kita tidak bisa muluk-muluk (ideal) puasa kita bagaikan kain yang utuh, tapi robek namun robek yang sudah ditambal, maka hendaklah kita berupaya untuk mewujudkannya.

Demikian, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

👤 Ust. Aris Munandar hafizhahullāh
📺 Sumber: http://yufid.tv/?s=Puasa+tambalan+aris
___________________________
🍃 Program Cinta Ramadhan~Yayasan Cinta Sedekah :
1. Tebar Paket Ifthar & Sahur Ramadhan
2. Program I'tikaf Ramadhan
3. Bingkisan Lebaran u/ Yatim & Dhu'afa
4. Tebar Al-Quran Nasional

📦 Donasi Cinta Ramadhan
| Bank Muamalat Cabang Cikeas
| No.Rek 3310004579
| atas nama Cinta Sedekah
| Kode Bank 147
| Konfirmasi donasi,
sms ke 0878 8145 8000
dengan format:
Nama#Domisili#Jumlah Transfer#Donasi Untuk Program
Previous
Next Post »
"Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).