Syawwal..

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Sejenak bacalah dengan khidmat 

TANDA "?" SAAT REMBULAN SYAWWAL KEMBALI TAMPAK TERSENYUM (1)
****

Ada satu pertanyaan yang senantiasa mengayun di serambi hati, saat rembulan Syawwal—yang indah itu—akhirnya tersenyum lagi menyapa bumi. Tentang Ramadhan kah? Yap, apakah dia yang baru saja lewat menyapa dengan salam perpisahan, ataukah justru kita yang lebih dulu melambaikan kepadanya tangan kebebasan?

Wahai sobat! Garisbawahi kata “kebebasan”, lalu pandanglah ia dengan mata hati barang sejenak. Kebebasan dari apa? Kebebasan dari murka Allah kah? Atau mungkin kebebasan dari “Penjara Ramadhan” yang membelenggu? Orang arif mungkin tidak setuju dengan ungkapan “Penjara Ramadhan”, namun realitanya?

Gemuruh takbir malam lebaran seolah hanya terompet pertanda gerbang pelampiasan telah dibuka kembali. Lapar dan dahaga yang kita rasakan sebulan penuh di jalan Allah, sepertinya tak berbekas . Shalat yang kita dirikan di penghujung malam seakan hanya tinggal cerita. Yang terlintas di benak hanyalah “apa yang harus kita persiapkan demi pesta perayaan?”. Tidak jarang—bahkan terlalu sering—detik-detik perpisahan dengan Ramadhan justru kita rayakan dengan pengkhianatan pada Ilahi. Berhura-hura, berfoya-foya, dan memamerkan keangkuhan, adalah sebagian kecil kealpaan kita yang paling ringan saat itu.

Kita lupa bahwa lapar dan dahaga yang kita rasakan sebulan penuh, sejatinya “menceritakan” pada kita beragam kisah, bahwa di sana masih banyak anak-anak yang tak pernah bisa menikmati kue-kue lebaran buatan sang bunda, tak ada baju baru pembelian sang ayah. Melewati malam lebaran dengan pakaian yatim bukanlah keinginan mereka. Menyapa dinginnya fajar Syawwal di balik selimut piatu bukanlah mimpi yang mereka harapkan.

Kita lupa bahwa setiap sujud yang kita haturkan bagi Sang Pencipta sepanjang malam Ramadhan, sejatinya mengajarkan betapa pakaian kehinaan senantiasa menyelubungi aurat dan borok-borok di sekujur jiwa dan raga kita di hadapan Ilahi. Juga bahwasanya “Selendang Keagungan dan Kebesaran”, selamanya akan menjadi milik-Nya semata. Sehingga tak pantas sedikitpun kita tersenyum dengan senyum keangkuhan pada si miskin penerima zakat, tak layak secuil pun kita menganggap hina mereka, kaum papa yang meminta-minta. Sungguh kebutuhan kita akan ampunan Allah (melalui zakat dan sedekah yang kita tunaikan), jauh lebih besar daripada kebutuhan fakir miskin terhadap harta-harta yang kita miliki, sebesar apapun kita menginfakkannya.

Kita lupa—atau mungkin pura-pura lupa—bahwa predikat kelulusan dari madrasah Ramadhan adalah takwa; ditandai dengan hati yang bertambah khusyu’ dan lembut, kasih sayang pada sesama yang semakin mengakar, dan tulusnya pengabdian pada titah-titah Ilahi yang semakin menjulang.**

http://kristaliman.wordpress.com/2012/08/22/lantas-apa-setelah-ramadhan/

Previous
Next Post »
"Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).